Blogger

Selasa, 26 April 2011

RAMBU SOLO (UPACARA PEMAKAMAN TORAJA)


RAMBU SOLO (UPACARA PEMAKAMAN TORAJA)
jika anda pernah berjalan-jalan ke tanah toraja, pertama kali yang mengundang daya tarik anda adalah bentuk bangunannya yang unik, yang akan anda jumpai dihampir setiap pekarangan masyarakat toraja. bangunan yang unik ini merupakan rumah adat masyarakat toraja yang lebih dikenal  dengan Rumah Tongkonan.  konon bentuk tongkonan menyerupai perahu kerajaan Cina jaman dahulu.Pada bangunan tongkonan ini terdapat guratan pisau rajut merajut diatas papan berwarna merah yang merupakan pertanda status social pemilik bangunan, ditambah lagi oleh deretan tanduk kerbau yang terpasang digantung didepan rumah, semakin menambah keunikan bangunan yang terbuat dari kayu tersebut.
Tana Toraja memiliki adat istiadat serta budaya yang telah mendarah daging turun temurun pada masyarakatnya. Berbagai macam obyek yang menarik baik secara langsung diciptakan oleh-Nya maupun secara sengaja dibuat oleh orang-orang yang memiliki cita rasa di bidang seni yang tinggi tentang budayanya sendiri,salah satu obyek wisata yang menarik adalah “Batutumonga”, Batutumonga adalah salah satu objek wisata alam yang ada di Toraja. Di Batutumonga kita dapat refreshing sejenak dan menikmati keindahan alam yang masih alami. Batutumonga terletak di kaki gunung sesean, tidak heran jika cuacanya sangat segar, dan bebas dari polusi.
Upacara adat rambu solo ( upacara kematian )
Rambu Solo adalah upacara adat kematian masyarakat Tana Toraja yang bertujuan untuk menghormati dan mengantarkan arwah orang yang meninggal dunia menuju alam roh, yaitu kembali kepada keabadian bersama para leluhur mereka di sebuah tempat peristirahatan, disebut dengan Puya, yang terletak di bagian selatan tempat tinggal manusia. Upacara ini sering juga disebut upacara penyempurnaan kematian. Dikatakan demikian, karena orang yang meninggal baru dianggap benar-benar meninggal setelah seluruh prosesi upacara ini digenapi. Jika belum, maka orang yang meninggal tersebut hanya dianggap sebagai orang “sakit” atau “lemah”, sehingga ia tetap diperlakukan seperti halnya orang hidup, yaitu dibaringkan di tempat tidur dan diberi hidangan makanan dan minuman, bahkan selalu diajak berbicara.
Oleh karena itu, masyarakat setempat menganggap upacara ini sangat penting, karena kesempurnaan upacara ini akan menentukan posisi arwah orang yang meninggal tersebut, apakah sebagai arwah gentayangan (bombo), arwah yang mencapai tingkat dewa (to-membali puang), atau menjadi dewa pelindung (deata). Dalam konteks ini, upacara Rambu Solo menjadi sebuah “kewajiban”, sehingga dengan cara apapun masyarakat Tana Toraja akan mengadakannnya sebagai bentuk pengabdian kepada orang tua mereka yang meninggal dunia.
Kemeriahan upacara Rambu Solo ditentukan oleh status sosial keluarga yang meninggal, diukur dari jumlah hewan yang dikorbankan. Semakin banyak kerbau disembelih, semakin tinggi status sosialnya. Biasanya, untuk keluarga bangsawan, jumlah kerbau yang disembelih berkisar antara 24-100 ekor, sedangkan warga golongan menengah berkisar 8 ekor kerbau ditambah 50 ekor babi. Dulu, upacara ini hanya mampu dilaksanakan oleh keluarga bangsawan. Namun seiring dengan perkembangan ekonomi, strata sosial tidak lagi berdasarkan pada keturunan atau kedudukan, melainkan berdasarkan tingkat pendidikan dan kemampanan ekonomi. Saat ini, sudah banyak masyarakat Toraja dari strata sosial rakyat bias

Keistimewaan Rambu Solo
Puncak dari upacara Rambu Solo disebut dengan upacara Rante yang dilaksanakan di sebuah “lapangan khusus”. Dalam upacara Rante ini terdapat beberapa rangkaian ritual yang selalu menarik perhatian para pengunjung, seperti proses pembungkusan jenazah (ma‘tudan, mebalun), pembubuhan ornamen dari benang emas dan perak pada peti jenazah (ma‘roto), penurunan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan (ma‘popengkalo alang), dan proses pengusungan jenazah ke tempat peristirahatan terakhir (ma‘palao).
Selain itu, juga terdapat berbagai atrakasi budaya yang dipertontonkan, di antaranya: adu kerbau (mappasilaga tedong), kerbau-kerbau yang akan dikorbankan diadu terlebih dahulu sebelum disembelih; dan adu kaki (sisemba). Dalam upacara tersebut juga dipentaskan beberapa musik, seperti pa‘pompan, pa‘dali-dali dan unnosong; serta beberapa tarian, seperti pa‘badong, pa‘dondi, pa‘randing, pa‘katia, pa‘papanggan, passailo dan pa‘pasilaga tedong.
Menariknya lagi, kerbau disembelih dengan cara yang sangat unik dan merupakan ciri khas mayarakat Tana Toraja, yaitu menebas leher kerbau hanya dengan sekali tebasan. Jenis kerbau yang disembelih pun bukan kerbau biasa, tetapi kerbau bule (tedong bonga) yang harganya berkisar antara 10–50 juta perekor. Selain itu, juga terdapat pemandangan yang sangat menakjubkan, yaitu ketika iring-iringan para pelayat yang sedang mengantarkan jenazah menuju Puya, dari kejauhan tampak kain merah panjang bagaikan selendang raksasa membentang di antara pelayat tersebut.a menjadi hartawan, sehingga mampu menggelar upacara ini.
Kesimpulan :
Kebudayaan dari tana toraja ini memang upacara yang cuma ada si tana toraja sendiri, dan cara penguburannya beda dengan yang lain, harus menggunakan upacara yang bermaksud untuk mengantarkan roh yang elah meninggal kea lam roh yang ada di sana, biasanya ada kegiatan yang menarik di upacara rambu solo ini.
Biasanya adanya adu kerbau khas toraja atau disebut juga dengan kebo bule.
Penampilan kesenian musik, yaitu pa'pompang, pa'dalidali, dan unnosong.
Pada puncak acara, dilaksanakan ritual ma'balun, (membungkus jenazah), ma'roto (membubuhkan ornamen benang emas dan perak pada peti jenazah), ma'parokko alang (menurunkan jenazah ke lumbung untuk disemayamkan), dan ma'palao (mengusung jenazah ke pemakaman). Saat pengantaran jenazah, kain merah panjang dibentang memayungi keluarga mendiang.Dalam kepercayaan Aluk, kesempurnaan pelaksanaan Rambu Solo akan menentukan nasib orang yang meninggal setelah ia dimakamkan. Apakah akan menjadi arwah yang mencapai tingkat dewa (to membali puang) atau menjadi dewa pelindung (deata). Karena itu menjelang usai, keluarga mendiang diwajibkan mengucapkan syukur pada Sang Pencipta.(*)

sumber : http://abdullahyasir.wordpress.com/2010/09/29/kebudayaan-tana-toraja/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar